Kata Rwa Bhinneda sangat akrab di telinga dalam hidup dan kehidupan masyarakat Hindu.
Rwa Bhinneda dalam pemahaman masyarakat, sering diartikan suatu sistem yang memutar kehidupan berkrama (bermasyarakat). Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, hidup ini berputar.
Sangat ironi, termasuk mencuri, membunuh dan sejenisnya, ini sering dikatakan sebagai bagian Rwa Bhinneda, sehingga hidup ini berputar. Secara logika, siapapun mänusia itu, baik polisi, tentara, penegak hukum politisi dan lain sebagainya, tentu tidak berharap ada pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Padahal bilamana dicermati, bahwa ketika tidak ada pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain-lain, kehidupan ini tetap berputar.
Tentu terjadi pergeseran pemahaman dalam masyarakat tentang Rwa Bhinneda.
Sejatinya Rwa Bhineda, tidak berhubungan langsung dengan perbuatan atau karma. Rwa Bhinneda memiliki hakikat yang sangat rahasia dan esensial. Sehingga tidak semua yang nampak bertentangan disebut Rwa Bhinneda.
Secara harfiah, Rwa Bhinneda terdiri dan 2 (dua) kata, yaitu Rwa dan Bhinneda, yang mengandung arti Rwa berarti 2 (dua) sedangkan Bhinneda berarti dua hal yang berbeda.
Berangkat dengan pemahaman ini, lalu orang mengartikan, bahwa setiap 2 (dua) hal yang berbeda serta nampak bertentangan diistilahkan dengan Rwa Bhinneda. Padahal berbicara masalah Rwa Bhinneda, pemahaman dan pemaknaannya tidak hanya terlihat dalam konteks arti secara harfiah.
Rwa Bhinneda, sejatinya tidak hanya membahas yang nampak secara harfiah. Rwa Bhinneda membahas melampaui batas pemikiran manusia. Artinya pembahasannya menjangkau hakikat dan, sensial tentang kehidup yaitu Ang dan Ah.
Ang dengan Ah adalah induk (bapak dan ibu) aksara.
Sebagaimana dalam Siwagama, Ang Ah inilah yang dimaksud dengan Sanghyang Rwa Bhinneda, sebagai induknya (bapak-ibu) nya aksara.
Ang adalah angkasa, Ah adalah prethiwi. Akasa adalah bapak, sedangkan prethiwi adalah ibu. Bapak-ibu Juga menyandang status Purusa-Pradana.
Diniskalakan dalam bentuk mantra maka bapak ibu berturut-turut berwujud Om (bapak) …….. Swaha (ibu)/ Ong (bapak) ………. Swadhah (ibu), sebagaimana contoh berikut:
Om Sudhamam Swaha
Om Ati Sudhamam Swaha
Tangan kanan ini suci berkat tuntunan bapak-ibu
Tangan kiri ini suci berkat tuntunan bapak-ibu
Ong namo wah pitaro suksma yenamah swadah
Ong namo wah pitaro turya yenamah swadah
Ong namo wah pitaro ktah yenamah swadah (Puja Pitra)
Semoga arwah leluhur kembali dengan cepat kepada Brahman berkat tuntunan leluhur (ibu-bapak yang telah lebih dahulu kembali kepada Tuhan).
Semoga arwah leluhur yang telah kembali kepada Brahman dapat mencapai keadaan jiwa tingkat keempat atau jnana, berkat bantuan bapak-ibu (leluhur).
Arwah teluhur telah menyatu dengan Brahman berkat tuntunan bapak-ibu (leluhur).
Om Swaha dan Ong Swadah sebagaimana kutipan mantra di atas, memiliki makna yang sangat dalam, esensial. Tanpa tuntunan bapak-ibu, maka semua permohonan tidak akan berhasil.
Berdampingannya bapak-ibu dalam suatu upacara adalah syarat utama untuk berhasilnya suatu permohonan. Lebih-lebih pemujaan itu dilakukan untuk para leluhur. Bapak ibu adalah wujud Brahman dalam hidup dan kehidupan skala (mayapada) bagi putra-putrinya, maka puja dan hormati bapak-ibu/leluhur.
Dalam bentuk cairan, bapak ibu yang menyatukan rasa dalam purna candra (vagina), puncak rasa dalam purna candra keluarlah kama petak (sperma) dan kama bang (sel telur).
Dalam bentuk niskala kama petak adalah dan kama bang adalah Ang dan kama bang adalah Ah. Itu sebabnya ketika kama petak dengan kama bang menyatu membentuk menyerupai telor berkabut putih bagaikan salju dalam siwagarbha (rahim), dijaga oleh Adi Brahma yang keluar dari pusat Ongkara. Sehingga Rwa Bhinneda adalah dua hal berbeda namun hakikatnya 1(satu). Menyatu rasa dalam purna candra, demikian pula manyatu dalam wujud wuwunda (bayi), urghapada (posisi bayi berdiri), dan jatismara posisi bayi kepala di bawah di dalam Siwa Garbha yang disebut dengan jatismara.
Jatismara sejatinya gabungan dari kama petak dengan kama bang, yang masing-masing telah mewujud menjadi tri chandya dengan tri murti, tri chandya adalah tulang, sumsum dan saraf, sedangkan tri murti adalah daging, darah, darah dan kulit (ditambah bulu dan rambut).
Bilamana, kita lebih mencermati Naskah Siwagama, tri chandya merupakan tabung ajaran Yogasanyasa, sedangkan tri murti adalah tabung ajaran Karmasannyasa. Penterapan Yogasannyasa lebih didasari dan penguasaan serta pelaksanaan Jñana Marga dan Yoga Marga, sedangkan Karmasannyasa lebih didasari pada penguasaan dan pelaksanaan Karma Marga dan Bhakti Marga.
Pada diri manusia sejatinya kedua ajaran ini menyatu dengan padu. Kesempurnaan Karmasannyasa terletak pada didasari penguasaan, pemahaman serta pelaksanaan Yogasannyasa. Demikian pula Yogasannyasa ini dapat mewujud, tentu dengan adanya pelaksanaan Karmasannyasa.
Pelaksanaan keagamaan Hindu khususnya Bali, bahwa Karmasannyasa dengan Yoga-sannyasa adalah menyatu. Walaupun pada awalnya, sebagaimana dipaparkan dalam Siwagama bahwa Karmasannyasa dengan Yogasannyasa adalah ajaran yang satu dengan lainnya berbeda. Karmasannyasa pelaksanaan ajarannya menekankan pada Karma Marga dan Bhakti Marga.
Ajaran ini menggunakan sarana-sarana, seperti tempat ibadah: Sanggah/Merajan, Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat dan sejenisnya, pula menggunakan sarana banten. Sedangkan Yogasannyasa menekankan ajarannya yang didasari dengan Jñana Marga dan Yoga Marga, sama sekali tidak menggunakan sarana sebagaimana dalam pelaksanaan ajaran Karmasannyasa.
Kontekstualnya pelaksanaan kedua ajaran ini, sejatinya tidak perlu lagi penyatuannya. Dikarenakan ia tidak hanya menyatu dalam pelaksanaan keagamaan secara komunal, namun ia sejatinya pula menyatu dalam diri manusia. Karmasannyasa, merupakan refleksi ajaran Siwa, sedangkan Yogasannyasa refleksi ajaran Buddha. Sebagaimana kita pahami bersama Siwa-Buddha di Bali demikian menyatu dengan padu, tidak hanya dalam hubungan keberagaman secara komunal, namun pula secara individu. Bila kita kembangkan pemahaman ini maka laki-laki sejatinya adalah tabung ajaran Buddha, sedang wanita tabung ajaran Siwa.
Manakala kita mengkajinya lebih mendalam mengenai Naskah Siwagama, khususnya sargah 19 (sembilan belas), bahwa kesempurnaan wanita, karena di dalam wanita terletak tabung (dan purna candra-Siwagarbha) menyatunya Siwa-Buddha. Proses pernyatuan itu terjadi, sejatinya dimulainya bapak ibu ketemu pandang, berlanjut pada pacaran, kemudian menikah.
Penyatuan Siwa-Buddha dalam wujud awalnya, ketika Buddha dengan kepala botak, berambut berlingkar-lingkar dipangkal leher bertamasya di taman purna candra, yang pintu gerbangnya penuh ditumbuhi semak belukar. Maksud perjalanan Budha ini, untuk ketemu dengan manifestasinya yaitu Panca Tatagata di taman purna candra, untuk melanjutkan tugas karmanya di taman tersebut. Konteks Siwaisme, purna candra terletak pada tabung karmasannyasa. Dengan demikian purna candra identik dengan milik Siwa, dengan kata lain purna candra wujud jasmaniah rahasia yang dimiliki wanita. Ini artinya peristiwa tamasyanya Buddha di purna candra, dalam wujud jasmaniahnya yang berkepala botak itu dengan berambut melingkar-lingkar di pangkal lehernya, memiliki makna yang sangat dalam yakni sebelum melakukan karma lanjut menapaki bakti, hendaknya dilandasi dengan jñana dan yoga terlebih dahulu. Dengan demikian jñana adalah power dalam melakukan karma, bakti maupun yoga.
Setelah Buddha yang plontos puas bermain-main dengan mempermainkan suatu benda yang menyerupai bunga teleng, yang sejatinya benda itu adalah putik sari bunga padma yang berada di taman purna candra, taman purna candra pula telah puas atas kunjungan Buddha. Kemudian Buddha dan ujung kepalanya yang botak itu meluncur dengan kencang jutaan embrio tri candhya yang tiada lain adalah kama petak (sperma), selalu diusahakan dalam bentuk bersamaan dari pangkal putik sari padma ke luarlah dengan gemulai embrio tri murti yang tiada lain adalah kama bang (sel telur).
Kemudian kedua kama ini mengalir menyatu ke dalam Siwagambha atau alam Siwa, untuk melanjutkan karmasannyasa. Dengan demikian Siwa Buddha menyatu di dalam Siwagarbha. Siwa-Buddha yang sejatinya adalah Siwa Guru. Guna kepentingan kehidupan Siwa Guru mewujudkan masing-masing menjadi Buddha dan Siwa. Dalam bentuk aksara Buddha-Siwa mewujudkan menjadi (Ang Ah). Kama petak dengan kama bang menyatu mewujud menjadi telor berkabut-wuwunda-bongkahan daging menyerupai wayang-Urdhapada, dan pada usia sembilan bulan pada akhirnya masing-masing menjadi tri chandya dengan tri murti. Tri chandya dengan tri murti menyatu menjadi jatismara, kemudian lahirlah bayi (manusia).
Dengan demikian dalam diri manusia secara individual merupakan tabung-tabung ajaran Siwa Buddha.
Subhasubha Karma
Dengan demikian, tidak semua 2 (dua) hal yang nampak bertentangan dapat disebut Rwa Bhinneda, seperti: tidak membunuh dengan membunuh, tidak mencuri dengan mencuri, membakar dengan tidak membakar. 2 (dua) hal yang nampak berbeda dan bertentangan ini sejatinya adalah subhasubha karma (perbuatan baik dan benar dengan tidak baik dan tidak benar) dan manusia.
Dengan demikian subyek subhasubha karma adalah manusia, karena hanya manusia yang dapat melakukannya. Kalau menginginkan kebaikan, maka berbuatlah. yang baik dan benar, bila berbuat tidak baik dan tidak benar, maka yang didapatkan tidak baik dan tidak benar.
Sehingga baik-tidak baik, membunuh-tidak membunuh dan lain-lain sebagaimana diuraikan di atas, bukan tergolong Rwa Bhinneda, dengan kata lain disebut dengan Subhasubha karma. Hakikat subhasubha karma tidak bisa/tidak dapat dipertemukan, ia akan dan selalu bertentangan, sebagaimana halnya madu dengan racun.Memang subha-subha karma memberikan warna dalam hidup dan kehidupan, dalam bahasa agama akan berhubungan kehidupan setelah kematian, yaitu sorga dan neraka. Dalam konteks hukum positif, subhasubha karma tidak selalu memberikan pengaruh dan dampak, dalam hal ini berhubungan dengan penghargaan maupun sanksi. Bila masyarakat berbuat sesuai dengan aturan hukum (misal KUHP), tidak serta merta mendapatkan penghargaan. Demikian pula bila masyarakat, walaupun sesungguhnya melakukan tindakan kriminal, namun tidak dapat dibuktikan secara sah, maka yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi, bila terbukti secara sah tentu mereka dikenakan sanksi.
Sangat berbeda dengan Rwa Bhinneda, nampaknya berbeda, namun hakikatnya satu, sebagaimana Siwa dengan Buddha hakikatnya adalah satu. yaitu Siwaguru, yang merupakan induk aksara manakala menyatu, akan menjadi hal yang paling esensial yaitu Ongkara. Bapak (laki) dan ibu (perempuan) adalah wujud nyata Rwa Bhinneda, orang terlahir laki-laki bukan sebuah kebenaran, orang terlahir perempuan bukan sebuah kesalahan, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian Rwa Bhinneda, tidak langsung berhubungan dengan hukum karma, ia adalah subyek karma, sedangkan subyeknya adalah Brahman.
Pergeseran Rwa Bhinneda ke Subhasubha Karma
Sangat latah kita dengar dalam hidup dan kehidupan masyarakat, seperti ketika seseorang di suatu tempat barang miliknya dicuri, atau di suatu pura kehilangan barong dan sejenisnya, pemberi pembinaan mengatakan bahwa itu adalah Rwa Bhinneda. Entah dan mana sümbemya, yang jelas pembina dimaksud dengan penuh keyakinan, bahwa terjadmnya pencurian, pembunuhan dan sejenisnya merupakan benang rantai Rwa Bhinneda.
Manakala disadari, bahwa setip manusia normal, tidak menghendaki terjadinya pencurian, pembunuhan dan sejenisnya, karena hal itu dapat menimbulkan tidak hanya kehilangan barang, maupun taksu, namun dapat berakibat fatal yaitu kehilangan nyawa. Lebih ironis lagi pelanggaran peraturan dikatakan Rwa Bhinneda. Sepatutnya hal ini bukan rangkaian Rwa Bhinneda, namun sejatinya adalah subhasubha karma atau baik buruknya suatu perbuatan. Selain dampak sebagaimana diuraikan di atas, subha-subha karma dapat menimbulkan sanksi hukum, bila terbukti secara sah melakukan tindak pidana.Lebih lanjut dijelaskan siartgmalam, laki-perempuan, baik-buruk dan lain sebagainya adalah Rwa Bhinneda.
Penjelasan ini, tidak sepenuhnya benar, siang-malam dan laki perempuan adalah benar Rwa Bhinneda, sedangkan baik-buruknya suatu perbuatan dan sejenisnya tergolong subha-subha karma. Siang-malam, laki perempuan, baik-buruk dan sejenisnya lebih tepat dikatakan duandas. Dengan kata lain gabungan Rwa Bhinneda dengan subha-subha karma disebut duandas.Pergeseran pemahaman mengenai Rwa Bhinneda, dan subhasubha karma ke Rwa Bhinneda atau ke duandas atau sebaliknya, memberikan pemahaman kepada kita, bahwa tidak semua yang nampak berbeda dan bertentangan adalah Rwa Bhinneda atau subhasubha karma, namun sudah pasti duandas. Rwa Bhinneda, tidak berhubungan langsung dengan karma atau baik buruknya suatu perbuatan, namun ia bagian esensial dan suatu penciptaan hidup dan kehidupan ini, ia subyek subhasubha karma. Dengan demikian Rwa Bhinneda tidak ditentukan oleh nilai, misal kelahiran seorang wanita bukanlah sebuah kesalahan, demikian halnya lair laki bukanlah sebuah kebenaran. Berbeda dengan subha-subha karma atau baik buruknya perbuatan perjalanannya menentukan dan ditentukan oleh nilai. Orang berbuat baik pasti bernilai baik di mata Brahman, bila berbuat buruk pasti mendapatkan ganjaran dari Brahman. Bila terbukti bersalah secara sah menurut aturan hukum yang berlaku, harus dikenakan sanksi. Bila pergeseran pemahaman dan pelakuan ini terus terjadi, maka manusia akan latah dan menjadi suatu budaya untuk melakukan kesalahan-kesalahan.
[Oleh : Dra. Ida Ayu Made Suerti, Bandung